Sabtu, 31 Juli 2010

PERISTIWA SEJARAH DAN PURA YANG BERDIRI

Kronologi peristiwa-peristiwa ssejarah yang melatar belakangi berdirinya Pura-Pura Pusat Penyungsungan Pratisentana Sira Arya Kuthawaringin, seperti tersurat/tersirat dalam Babad Sira Arya Kuthawaringin-Kubontubuh dan dokumen-dokumen terkait, adalah seperti yang disajikan dalam tabel dibawah ini.

PERIODE PEMERINTAHAN DAN RAJA YANG MEMERINTAH

RANGKAIAN PERISTIWA YANG MELATAR BELAKANGI BERDIRINYA PURA-PURA

PURA-PURA YANG BERDIRI

1343 :
Belum ada Raja yang memerintah setelah Bali takluk

Ekspedisi Gajah Mada menaklukkan Bali. Bali diserbu dari pesisir timur, utara dan selatan. Sira Arya Damar bersama Sira Arya Kuthawaringin dan Sira Arya Sentong menyerbu Bali dari pesisir utara, mendarat di Ularan. Bali takluk dibawah Kerajaan Majapahit.

 

1343 – 1352 :
Belum ada Raja yang memerintah, 15 Arya ditugaskan sebagai Penguasa Wilayah atas nama Kerajaan Majapahit

Maha Patih Gajah Mada mengatur penugasan kepada 15 Arya sebagai Penguasa Wilayah atas nama Kerajaan Majapahit.

Sira Arya Kuthawaringin dikukuhkan sebagai Amanca Agung (Penguasa Wilayah Tenggara Bali) berkedudukan di Gelgel dengan rakyat 5000 orang. Wilayah Kemancaan Agung itu meliputi: Gelgel, Kamasan, Tojan hingga pantai Klotok, Dukuh Nyuh-aya, Kacangpaos (Kacangda-wa), Siku sampai Klungkung.

Beberapa lama setelah menjabat Amanca Agung, Sira Arya Kuthawaringin membangun istana di Gelgel. Di selatan Desa Gelgel beliau juga mendirikan tempat pemujaan yang pada zamannya disebut Kahyangan Dalem Desa yang juga disebut Dalem Jagat dan kemudian lumrah dikenal sebagai Dalem Suci. Di palinggih Gedong Bata pada Kahyangan Dalem Suci yang merupakan tempat pemujaan Sang Amanca Agung itu, beliau mensthanakan/memuja Sang Hyang Parama Wisesa dalam prabawanya sebagai Sang Hyang Amurwabhumi. Kahyangan Dalem Suci ini merupakan cikal-bakalnya pura yang kemudian akhirnya dikenal dengan nama Pura Dalem Tugu.









































Dalem Suci : cikal-bakalnya Pura Dalem Tugu.

1352 – 1380 :
Dalem Ketut Kresna Kepakisan di Sam-prangan

Amanca Agung Sira Arya Kuthawaringin juga menjabat Adhi Patih dan berkedudukan sebagai Tumenggung.

Sira Arya Kuthawaringin menurunkan 4 orang putera, yaitu I Gusti Agung Bandhesa Gelgel, Kyayi Gusti Parembu, Kyayi Gusti Candi dan I Gusti Ayu Waringin (diperistri oleh Dalem Ketut Kresna Kepakisan, melahirkan Ida Dewa Tegalbesung).

Sira Arya Kuthawaringin lanjut usia, diganti oleh putera sulungnya yang bergelar I Gusti Agung Bandhesa Gelgel dengan jabatan Patih Utama.

Sira Arya Kuthawaringin wafat, I Gusti Agung Bandhesa Gelgel bersama seluruh saudara dan sanak keluarganya menyelenggara-kan upacara Palebon lanjut dengan Baligia dan Atmapratista-nya. Roh Sucinya disthanakan (dhinarmma) pada palinggih babaturan di Kahyangan Dalem Suci tersebut sebagai Padharman Sira Arya Kuthawaringin.

































Dalem Suci sebagai Padhar-man Sira Arya Kuthawaringin.

1380 :

Dalem Ile di Samprangan.

Dalem Ketut Kresna Kepakisan wafat, diganti oleh Dalem Ile.

Dalem Ile lalai mengurus negara (Kerajaan).

Kyayi Parembu dua kali diperintahkan oleh Dalem Ile untuk mengejar Dalem Tarukan, tetapi tidak berhasil sehingga malu kembali ke Gelgel/ Samprangan. Oleh karena itu beliau bermukim di Bubungtegeh bersama 20 prajuritnya, sedangkan 20 prajurit lainnya diperintahkan kembali ke Gelgel untuk melaporkan keberadaannya di Bubung-tegeh kepada (kakaknya) I Gusti Agung Bandhesa Gelgel.

I Gusti Agung Bandhesa Gelgel yang sejak Dalem sebelumnya sudah menjabat Patih Utama, kecewa dengan sikap Dalem Ile mengurus negara. Lalu beliau melakukan semadhi (ndewasraya) di Kayangan Dalem Suci, tempat pemujaan beliau. Tiba-tiba mendengar sabda angkasa yang menyuruh beliau menghadap Ida I Dewa Ketut Ngulesir. Oleh karena itu beliau mengundang para menteri/pejabatkerajaan/bahudanda/pemuka masyara-kat yang sehaluan, lalu bermusyawarah di Kahyangan Dalem Suci, dimana sebelumnya beliau bersamadhi. Permusyawara-tan aklamasi mendukung langkah yang akan diambil sesuai sabda angkasa itu, lalu disana mereka berikrar (madewa saksi), setelah itu berangkat menuju Desa Pandak karena setelah diselidiki, diketahui Ida I Dewa Ketut Ngulesir berada disana.

Dialog di Desa Pandak : Kyayi Gusti Agung Bandhesa Gelgel mohon kesediaan Ida I Dewa Ketut Ngulesir untuk menjadi raja menggantikan Dalem Ile dan mempersilahkan beliau mengambil Istana Kepatihan-nya untuk dijadikan Istana Dalem. Akhirnya beliau tidak kuasa menolak, lalu bersama-sama kembali ke Gelgel.





























































1383 – 1460 :
Dalem Ketut Smara Kepakisan (Dalem Ketut Ngulesir).

Ida I Dewa Ketut Ngulesir dinobatkan pada tahun saka 1305 (1383M) dengan gelar Dalem Sri Smara Kepakisan, berkedudukan di Gelgel yang kemudian bernama Swecalinggarsapura.

I Gusti Agung Bandhesa Gelgel, Patih Utama, menyerahkan purinya (Istana Kepatihan) kepada Dalem Ketut Smara Kepakisan untuk dijadikan Istana Dalem di Gelgel. Kemudian beliau pindah/membangun Istana Kepatihan yang baru lengkap dengan Pamerajannya di sebelah barat daya Istana Kepatihan terdahulu yang sudah menjadi Istana Dalem atau disebelah utara Kahyangan Dalem Suci tempat pemujaan beliau, yaitu di tegalan Abyan Kawan yang ditanami pohon kelapa. Sejak itu beliau juga bergelar Kyayi (I Gusti) Kubontubuh atau Kyayi (I Gusti) Klapodhyana.

Mrajan dari purinya yang baru ini diyakini merupakan Pura Mrajan yang diwariskan kepada pratisentananya hingga sekarang yang sesuai Ketetapan Pesamuan Pusat Khusus Pratisentana Sira Arya Kubontubuh Propinsi Bali No.I/PPK-PSAK/2004 tgl.25 Januari 2004 disebut Pura Mrajan Kawitan Pratisentana Sira Arya Kubontubuh.

Atas restu Dalem Ketut Smara Kepakisan dan didukung para Arya, dibangunlah Palinggih Tugu sebagai sthana Sang Hyang Tugu, beliaulah Sang Hyang Ghanapati, sebagai saksi dunia. Tugu tersebut dibangun disebelah utara palinggih Gedong Bata di Kahyangan Dalem Suci dimana sebelumnya dilakukan ikrar (madewa saksi) atas kemufakatan untuk menjemput Ida I Dewa Ketut Ngulesir ke Desa Pandak. Setelah dibangunnya Palinggih Tugu tersebut Kahyangan Dalem Suci itu hingga kini lebih dikenal dengan nama Pura Dalem Tugu.

I Gusti Agung Bandhesa Gelgel mengawini I Gusti Ayu Adhi (puteri Pangeran Nyuhaya) sehingga sempat menimbulkan perselisihan, diadili oleh Dalem Ketut Smara Kepakisan. Dalam sidang pengadilan tersebut I Gusti Agung Bandhesa Gelgel menyuruh adiknya yaitu Kyayi Parembu untuk mengambil Candri Sawalan di rumahnya.

Oleh Dalem Ketut Smara Kepakisan, Kyayi Klapodhyana diingatkan dengan sangat agar memugar dan mangupapira Pura Dalem Tugu dengan segala upacaranya. Pada saat pemugaran itu Kyayi Gusti Klapodhyana memugar palinggih padharman yang semula masih berbentuk babaturan menjadi Meru Tumpang Tiga yang dibangun disebelah utara palinggih Gedong Bata, disebelan selatan Palinggih Tugu.

Setelah gagal upaya damai dan upaya penyerangan ke-1 yang berturut-turut telah dilakukan untuk membawa putera-putera Dalem Tarukan menghadap Dalem di Gelgel, Dalem Ketut Smara Kepakisan menugaskan I Gusti Kubontubuh memimpin laskar Gelgel menyerang desa-desa tempat putera-putera Dalem Tarukan bermukim, perang seru terjadi, akhirnya putera-putera Dalem Tarukan menyerah dan tunduk kepada titah Dalem untuk menghadap Dalem di Gelgel (Dalem Tarukan, halaman 37-39).

Mulai saat itu Kyayi Parembu yang bermukim di Desa Bubungtegeh yang termasuk salah satu dari desa-desa dimana putera-putera Dalem Tarukan bermukim, pada saat-saat tertentu pulang kembali ke Gelgel, ikut bersama-sama sanak keluarganya di Gelgel memelihara dan menyeleng-garakan upacara keagamaan sebagaimana mestinya di Kahyangan tempat pemujaan-nya dahulu yaitu Pura Dalem Tugu.










































Pura Mrajan Kawitan






















Pura Dalem Tugu
1460 – 1550 :
Dalem Watu Ra Enggong

Kyayi Klapodhyana lanjut usia, diganti oleh putranya yaitu Kyayi Lurah Abiantubuh dengan jabatan Patih.

Kyayi Abiantubuh wafat, diganti oleh puteranya yaitu Kyayi Lurah Kubonkalapa dengan jabatan Adhi Patih.

Kyayi Kubonkalapa memang-gil Kyayi Tabehan Waringin (cucu Kyayi Parembu) untuk datang dalam pertemuan keluarga di Gelgel.

Dalam pertemuan keluarga tersebut dipermaklumkan oleh Kyayi Tabehan Waringin bahwa ayahandanya (yaitu Kyayi WayahanKuthawaringin = putera Kyayi Parembu) telah membangun Paryang-an di Waringin.

Penjelasan lebih lanjut tentang Paryangan yang telah didirikan di Waringin seperti tercantum dalam Babad Arya Kuthawaringin halaman Lontar 64a dan 64b adalah :

  1. Paryangan Waringin didirikan dilokasi tempat Kyayi Parembu melakukan “yoga dengan hati yang suci”.
  2. Wujudnya hanya babaturan belum permanen.
  3. Fungsinya sebagai tempat pemujaan leluhur.
  4. Tidak ketinggalan sthana untuk memuja arwah almarhum Sirarya Kuthawaringin.
  5. Disebelah selatannya : Pura Dalem (belum permanen) itulah tempat jenazah Kyayi Parembu dibakar (palebon).

Dari butir 1 s/d 5 diatas, jelas terungkap bahwa Pura Waringin didirikan sebagai kelanjutan dari proses palebon Kyayi Parembu di Desa Waringin dan tentunya bukan kelanjutan dari proses palebon-baligia-atmaprastita Sira Arya Kuthawaringin yang sudah diselenggarakan di Gelgel pada zaman pemerintahan Dalem Ketut Kresna Kepakisan seperi telah diuraikan diatas. Kesimpulan ini sejalan pula dengan pernyataan pada butir 4 diatas yang maknanya bahwa disana “tidak ketinggalan” juga dibangun sthana sebagai pesimpangan atau pengayengan untuk memuja arwah almarhum Sirarya Kuthawaringin.






















Pura/Paryangan di Waringin

Dari rangkaian kronologis peristiwa-peristiwa yang melatar belakangi berdirinya pura=pura seperti diuraikan dalam tabel diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

  1. Kahyangan Dalem Suci, cikal-bakal Pura Dalem Tugu, dibangun beberapa tahun setelah tahun 1343 M. yaitu setelah Sira Arya Kuthawaringin dikukuhkan sebagai Amanca Agung berkedudu-kan di Gelgel.
  2. Palinggih Tugu di Pura Dalem Tugu, dibangun beberapa tahun setelah tahun 1383 M. Pada tahun tersebut Patih Utama Kyayi (I Gusti) Klapodhyana bersama para menteri/pejabat kerajaan/bahudanda/pemuka masyarakat yang sehaluan, berhasil menjemput Ida I Dewa Ketut Ngulesir di Desa Pandak lanjut dinobatkan menjadi Dalem kepertama (sehingga merupakan pendiri) Kerajaan Gelgel dengan gelar Dalem Sri Smara Kepakisan.
  3. Pura Mrajan Kawitan dibangun pada tahun 1383 M. yaitu setelah I Gusti Agung Bandhesa Gelgel menyerahkan purinya (Istana Kepatihan) kepada Dalem Ketut Smara Kepakisan untuk dijadikan Istana Dalem di Gelgel. Kemudian beliau pindah/membangun Istana Kepatihan yang baru lengkap dengan Pamrajannya.
  4. Pura/Paryangan di Waringin dibangun oleh Kyayi Wayahan Kuthawaringin, yaitu putera Kyayi Parembu atau cucu dari Sira Arya Kuthawaringin. Dengan demikian jelas sekali bahwa yang membangun pura ini bukan Sira Arya Kuthawari-ngin. Periode pembangunan pura ini diperkirakan sekitar akhir masa pemerintahan Dalem Ketut Smara Kepakisan atau pada awal masa pemerintahan Dalem Watu Ra Enggong, mengingat pura ini didirikan sebagai kelanjutan dari proses upacara palebon Kyayi Parembu di Waringin.

Demikianlah hal-hal yang dapat disajikan tentang berdirinya pura-pura yang merupakan pusat penyungsungan bagi pratisentana Sira Arya Kuthawaringin yang meliputi Kubontubuh-Kuthawaringin yang merupakan pratisentana Kyayi Klapodhyana, Parembu-Kuthawaringin yang merupakan pratisentana Kyayi Parembu dan Candi-Kuthawaringin yang merupakan pratisentana Kyayi Candi. Sumber : Lampiran IVB, halaman 90-98 Babad Sira Arya Kuthawaringin-Kubontubuh Edisi II-2007.

Semoga ada manfaatnya.

Terima kasih atas kunjungan anda ke BLOG yang saya asuh, saran dan komentar anda sangat dibutuhkan.

Denpasar, 31 Juli 2010.

Technorati Tags:

Senin, 26 Juli 2010

MENGAPA WARGA KUBONTUBUH-KUTHAWARINGIN MEMAKAI PETULANGAN MACAN SELEM DALAM UPACARA PENGABENAN ?

 

Ketentuan tentang sarana dan simbul-simbul yang dipakai dalam upacara pengabenan bagi warga Kubontubuh-Kuthawaringin bersumber dari panugerahan Dalem pada zaman kerajaan dahulu. Dalam Babad Arya Kuthawaringin-Kubontubuh, pada halaman Lontar 44a-44b-45a tercantum panugerahan untuk itu dari Dalem Ketut Semara Kepakisan, seperti kutipan dibawah ini :

  •  Panugerahan Dalem Ketut Semara Kepakisan kepada Kyayi Klapodhyana dan saudara-saudaranya semua keturunan Arya Kuthawaringin : “……..Dan pada waktu kematian, pada waktu ngaben, sebagai alat pengusungan jenazah boleh memakai dasar bade, bade tumpang pitu (7), taman punggel, kapasnya beraneka warna; yang utama 9 warna, madya tujuh warna, nista 5 warna; mauncal mapering sidapur, wesma silunglung, makajang (kemul), kalasa, tatak beha (alas pembakaran) papan 9 keping, balai-balai yang tinggi dengan 3 tangga (undag), peti pembakaran berbentuk harimau hitam, memakai tirtha pengentas, uttama 16.000, madya 8.000, nista 4.000, dan bila ada menegakkan kabujanggan (menjadi bujangga/pendeta) harus dengan upakara yang lengkap, menggunakan seperti yang dipergunakan oleh seorang pendeta, mapaterang, upadesa, jenazah dibungkus dengan daun pisang kaikik (sejenis pisang hutan), lengkap dengan upacaranya. Demikian isi anugerahku Dalem Cili Ketut, kepada kanda Puntha Klapodhyana dan turunan Arya Kuthawaringin, jangan tidak yakin yang menjadi wali negara terhadap anugerahku dan terhadap anak cucu Kyayi Klapoodhyana dan saudaranya semua, bila kamu tidak percaya dikenakan oleh kutuknya Bhatara Brahma, berkurang kesaktianmu, Moga-Moga”.

Contoh dari Bade Tumpang Pitu dan Petulangan Macan Selem adalah seperti foto-foto dibawah ini :

a. Bade Tumpang Pitu

clip_image002

b. Petulangan Macan Selem

clip_image004

Tampak Samping

clip_image006

Tampak Depan

clip_image008

Kepala ( Punggalan )

Demikianlah acuan historis yang bersumber dari Babad Arya Kuthawaringin-Kubontubuh beserta foto-foto contoh Bade Tumpang Pitu dan Petulangan Macan Selem seperti tercantum dalam Lampiran IV.C Babad Sira Arya Kuthawaringin-Kubontubuh halaman 99 s/d 103.

Jawaban dari pertanyaan : mengapa Dalem manganugerahkan Petulangan Macan Selem, ada dalam Babad Sira Arya Kuthawaringin-Kubontubuh halaman 22 s/d 25 seperti kutipan berikut :

“Tersebut suatu ceritera, pada suatu ketika, datang menghadap pada Dalem Ketut Semara Kepakisan di istana.Utusan dari raja Berangbangan, perlu bermohon agar dibantu, sebab timbul kerusuhan di kerajaan Berangbangan, hancur oleh keganasan si Harimau hitam. Setelah utusan itu memperoleh ijin untuk mengahadap, berkatalah utusan itu dengan sopan santun serta panganjali: Yang mulia paduka Sri Maharaja bagaikan penjelmaan Sanghyang Manobu, hamba diutus untuk menghadap oleh rakanda paduka Dalem, beliau Maharaja Berangbangan, memohon keikhlasan paduka Dalem, sudilah kiranya membantu beliau rakanda paduka Dalem. Karena rusaknya kerajaan Berambangan oleh si harimau hitam, bercokol dihutan Berambangan, luar biasa ganasnya, setiap orang yang datang ke sana disergap, diterkam dengan ujung kukunya, dimakannya, semua takut orang-orang Berambangan, tidak berani lewat ke sana. Setelah demikian atur utusan itu, segera bersabda Dalem Ketut Semara Kepakisan : Wahai kamu utusan, kembalilah kamu dengan segera, beritahukan kepada tuanmu, jangan beliau ragu-ragu/curiga, sekehendak beliau kukabulkan, hanya menunggu saat yang baik untuk berangkat, utusan itu lalu mohon diri. Itulah sebabnya Dalem bermaksud membuktikan ketangkasannya Kerian Patih Klapodhyana, seketika diperintahkan oleh Dalem di hadapan para menteri semua, titah Dalem : Wahai ......Kanda Patih Klapodhyana, kanda kuperintahkan pergi ke Berambangan, untuk membunuh harimau hitam itu, yang berada dalam hutan di Berambangan, ini kuhadiahkan sebilah sumpitan (= tulup), sebab benar-benar turunan Wisnu Wangsa, pasti mati harimau hitam itu oleh kanda, demikian titah Dalem tidak menolak beliau ( = Klapodhyana) diutus, taat pada perintah Dalem, gembira hatinya Kyayi Klapodhyana, dapat berkarya untuk Kerajaan, lalu mohon diri untuk berangkat, diiringkan oleh saudara-saudaranya serta rakyat serempak, tidak diceriterakan dalam perjalanan, sudah sampai mereka di Berambangan. Tersebutlah Kyayi Nyuhaya, mendengar ( = berita ) tentang keluarganya diadu, lalu ia mohon diri pada Dalem hendak menyusul perjalanannya Kyayi Klapodhyana, dikabulkan permohonanya, segera berangkat. Dikisahkan perjalanannya Kyayi Klapodhyana, banyaklah orang-orang Berambangan dijumpa, di sana Keriyan Patih Agung ( = Klapodhyana) menanyakan tempatnya si harimau hitam, menjawab mereka yang ditanya, : Ampun . . . tuan hamba, dekat tempatnya dibawah pohon kakacu. Di sana Keriyan Patih Klapodhyana dengan gagah perkasa menjelajah dalam hutan, banyak binatang yang dijumpa, semuanya lari, tidak berani berbuat ganas kepadanya ( = Klapodhyana ), semuanya seperti kalah dan takut, berlarian binatang - binatang itu. Jauh perginya di dalam hutan, tiba di bawah pohon kakacu, bertemu dengan si harimau hitam, amat keras mengaum mengintai hendak menerkam, tiba-tiba melompat harimau itu, diterkam Kriyan Patih ( = Klapodhyana), bergulat, bertarung pukul memukul, tetapi Kriyan Patih Klapodhyana tidak bercacat ( = luka), kemudian kembali harimau tersebut, ditampar hidungnya, lari dengan terengah-engah, dikejar oleh Kyayi Klapodhyana, dibidik dengan sumpitan pemberian Dalem, dibarengi dengan kesaktiannya ( = kekuatan batin ), lalu ditiup ( = disumpit ), dilepaskan peluru "BATUR GUMI", kena lambungnya, gemetar harimau itu, tidak berdaya, ditikam lehernya dengan sangkur sumpitan, remuk redam badan harimau itu direbut, rubuhlah si harimau terus mati. Disebutkan perjalanan Kyayi Nyuhaya, sudah tiba di dalam hutan, tidak berjumpa dengan keluarganya ( = Klapodhyana), karena lebih dulu, hanya terlihat olehnya jejak-jejak harimau ( = binatang ), itu diturutnya melanjutkan perjalanan. Setelah mati harimau itu oleh Kyayi Klapodhyana, datang / tiba Kyayi Nyuhaya, serta bertanya, : bagaimana dinda? Sudah mati harimau itu,? Sebab tampaknya seperti hidup. Yang ditanya ( = Klapodhyana ) menjawab, : ampun ..... kanda, sudah mati harimau itu oleh dinda. Payah sungguh kanda menyusul perjalanan dinda. Jangan berkata demikian, sebab perjalanan cepat dan kesusu. Sebab sudah berhasil tujuan itu, bagaimana maksud dinda, kiranya baik bila kembali ke Bali, persembahkan kepada Dalem. Setelah demikian berangkatlah mereka ke Bali, amat panjang bila diceriterakan tingkah lakunya di tengah perjalanan, segera tiba di Linggarsapura ( = Gelgel), masuk menghadap kepada Dalem, kebetulan banyak para tandha manteri menghadap, disana Dalem Ketut Semara Kepakisan menyapa Keriyan Patih Klapodhyana : Bagaimana perjalanan kanda, Patih Klapodhyana, dan Kanda Patih Nyuhaya, berhasilkah kanda dalam tugas? Sembah Kriyan Patih Klapodhyana : Ampun tuanku yang mulia, berhasil perjalanan hamba, telah mati si harimau hitam oleh hamba, inilah kulit si harimau hitam hamba persembahkan. Semua diutarakan hal ihwal pertempuran melawan harimau, dipermaklumkan kepada Dalem, oleh Kyayi Klapodhyana, amat suka cita Dalem, serta beliau memuji-muji, sebab tak berubah seperti sediakala mengabdikan dirinya kepada tugas. Teringatlah Dalem bahwa berhutang budhi, itulah sebabnya Dalem Ketut Semara Kepakisan menganugrahi Kyayi Klapodhyana, demikian isi karunianya : Inilah karuniaku Cili Ketut kepada kanda puntha Klapodhyana, dan seketurunan almarhum Arya Kuthawaringin ………………………….”

Dalam karunia Cili Ketut termaksud diatas itulah terselip panugerahan tentang Petulangan Macan Selem dan atribut/kelengkapan upacara pengabenan lainnya seperti tercantum dalam panugerahan Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang telah disajikan diatas, pada awal dari artikel ini.

Demikianlah kisahnya, mengapa Dalem Ketut Kresna Kepakisan menganugerahkan pemakaian Petulangan Macan Selem kepada Kyayi Klapodhyana dan saudara-saudaranya semua keturunan Arya Kuthawaringin ketika menyelenggarakan upacara pengabenan.

Terima kasih atas kunjungan anda ke BLOG yang saya asuh. Komentar dan saran-saran anda sangat saya harapkan. Sampai ketemu pada postingan berikutnya. Kalau tidak ada halangan dalam postingan berikut, saya bermaksud akan menyajikan kronologi peristiwa-peristiwa sejarah yang melatar belakangi berdirinya pura-pura yang merupakan pusat penyungsungan Pratisentana Sira Arya Kuthawaringin.

Denpasar, 26 Juli 2010

Technorati Tags: