Drs. I Wayan Warna, penggagas/pendiri organisasi Pasemetonan Pratisentana Sira Arya Kubontubuh-Kuthawaringan telah berpulang pada tanggal 6 Maret 2010 dan diaben pada tanggal 11 Maret 2010. Sedangkan istri beliau, Ni Ketut Murtini, telah mendahului berpulang pada tanggal 25 Pebruari 2009 dan telah pula diaben pada tanggal 21 Mei 2009.
Prosesi ketika mengusung jenazah Drs. I Wayan Warna dari Rumah Duka di Jl. Imam Bonjol 112, Denpasar menuju ke setra Badung di Denpasar adalah seperti foto dibawah ini :
Sedangkan Petulangan Macan Selem yang berfungsi sebagai sarana pembakaran/pamralina jazadnya adalah seperti foto dibawah ini :
Drs. I Wayan Warna lahir di Desa Pakraman Tampuagan, Kecamatan Karangasem, Amlapura pada tanggal 28 September 1930. Beliau menyelesaikan pendidikan terakhirnya di FKG Udayana di Singaraja. Karirnya sebagai pendidik dimulai sebagai guru SMP Negeri Mataram, kemudian berlanjut di SMP Negeri I Singaraja – SMA Negeri Singaraja – SGA Negeri Denpasar. Sambil berkarir sebagai pendidik, beliau juga berkiprar dibidang politik melalui keanggotaannya dipartai politik PNI pada zamannya. Beliau sempat menjabat sebagai Sekretaris DPD PNI Provinsi Bali. Jabatan di partai politik PNI menghantarkan beliau menjadi anggota DPRD-GR Provinsi Bali, bahkan dalm proses selanjutnya beliau sempat menjabat sebagi Ketua DPRD-GR Provinsi Bali ketika Gubernur Bali dijabat oleh I Gusti Putu Merta. Setelah selesai menjabat sebagai Ketua DPRD-GR Provinsi Bali beliau ditugaskan sebagai Kepala Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali.
Ketika sedang menjabat Kepala Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali itulah beliau menggagas pendirian organisasi wadah persatuan pratisentana Sira Arya Kubontubuh-Kuthawaringin seperti dimaksud diatas. Pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat pendahuluan yang akhirnya bermuara pada suatu pesamuan selalu dilakukan di Rumah beliau di JL. Imam Bonjol 78 (nomor rumah ketika itu 78 kemudian berubah menjadi nomor 112). Pesamuan termaksud yang akhirnya melahirkan organisasi Pasemetonan Pratisentana Sira Arya Kubontubuh-Kuthawaringin dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 1983. Sejak tanggal tersebut beliau menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Pasemetonan Pratisentana Sira Arya Kubontubuh-Kuthawaringin selama tiga periode kepengurusan yaitu periode 1983-1988, 1988-1993 dan 1993-1998. Dalam ketiga periode tersebut penulis mendampinginya sebagai Ketua I. Sedangkan setelah beliau mepamit (mengundurkan diri) sebagai Ketua Umum karena usia telah lanjut, penulis terpilih sebagai Ketua Umum dalam pesamuan di Wantilan Pura Dalem Tugu di Gelgel-Klungkung untuk menggantikan beliau.
Demikianlah berita ini terutama ditujukan kepada para sameton pratisentana Sira Arya Kubontubuh-Kuthawaringin dimanapun kini berada untuk maklum dan disertai ajakan mari kita doakan bersama agar beliau beserta istrinya Semoga Amor ring Acintia dan Keluarga yang ditinggalkan dikaruniai ketabahan. Disamping itu tentunya berita ini juga ditujukan kepada siapun yang mengenal beliau, apakah bekas teman sejawat, bekas murid yang pernah diajarnya atau sahabat-sahabat pribadinya, untuk dimaklumi dan doanya.
Denpasar, 21 Maret 2010
Bersama ini menyelipkan informasi terkait Karya Mamukur di Desa Pesangkan pada Agustus 2009 lalu, dikutip dari artikel karya Bondan Winarno di Kompas.com dan Suara Pembaruan.
BalasHapusMamukur dan Megibung di Bali
Jumat, 28 Agustus 2009 | 11:00 WIB
Oleh: Bondan Winano
Minggu lalu, saya diundang keluarga besar Gusti Arya Kubontubuh-Kuthawaringin untuk menghadiri upacara mamukur bagi para leluhur mereka. Menurut undangan yang saya terima, dijelaskan bahwa Puncak Karya Mamukur adalah tahapan upacara tertinggi setelah ngaben (kremasi atau pembakaran jenazah). Karena sudah beberapa kali ikut ngaben, tetapi belum pernah sekalipun menghadiri upacara mamukur, maka saya sempatkan datang memenuhi undangan tersebut.
Pengemudi taksi yang mengantar saya ke Desa Pesangkan di Kabupaten Karangasem mengatakan bahwa di Bali upacara mamukur sudah semakin jarang diselenggarakan. Menurutnya, mamukur berasal dari kata bhu (alam) dan ur (atas). “Karena keluarga kami orang tidak mampu, beberapa tahun yang lalu kami baru sanggup melakukan mamukur massal untuk arwah leluhur tujuh turunan di atas kami,” katanya. Ungkapannya yang jujur itu memberi gambaran bahwa sesungguhnya biaya untuk melakukan mamukur bisa jauh lebih mahal daripada upacara ngaben.
Sekalipun mahal, mamukur adalah upacara sakral yang menjadi kewajiban penganut Hindu Bali. Dalam ajaran agama ini, setiap orang mempunyai utang kepada Sang Hyang Widi Wasa, Guru, dan Leluhur. Pemahaman ini melahirkan sebuah kewajiban suci yang disebut Pitra Yadnya. Karena itu, ketika orang tua meninggal, maka anak-anak berkewajiban menyelenggarakan ngaben dan kemudian mamukur – keduanya merupakan bagian dari rangkaian upacara penyucian atma (roh).
lebih lanjut silakan akses ke:
http://travel.kompas.com/read/2009/08/28/11005853/Mamukur.dan.Megibung.di.Bali