Jumat, 14 Oktober 2011

KEBERADAAN PURA PADHARMAN TIDAK HARUS DI BESAKIH

Pada umumnya memang yang lebih dikenal adalah keberadaan Pura Padharman yang berlokasi di kompleks Pura Besakih. Tetapi itu tidak berarti Pura Padharman hanya ada di kompleks Pura Besakih. Dibawah ini disajikan kutipan dari beberapa tulisan yang pada intinya menguraikan tentang keberadaan dan atau ketidak beradaan Pura Padharman dari suatu warga atau tokoh warga di kompleks Pura Besakih, yaitu sebagai berikut :
1) Tulisan I Gusti Made Warsika, S.H., Pekandel Pedharman I Gusti Agung Petandakan Jalan Puputan No.6 Semarapura yang termuat dalam rubrik Surat Pembaca Harian Bali Post tanggal 16 september 1998, yang berjudul : “Padharman tidak harus di Besakih”, dalam butir 2 dan 3 diuraikan sebagai berikut :
“2. …………padharman tidak mesti di Besakih dan padharman bisa dibangun dimana saja tergantung kejadian sejarah yang melatar-belakanginya. Tidak semua orang mesti mempunyai padharman di Besakih. Padharman yang ada di Besakih dibangun tahun 1840-an atas prakarsa leluhur saya Raja Puteri Dewa Agung Bale Mas yang ketika itu bersama-sama raja-raja Bali lainnya ngaturang Karya Manca Wali Krama menyusul selesainya Karya Maligya di Puri Klungkung, walaupun ketika itu tidak semua raja-raja setuju atas prakarsa itu. Pernyataan ini dikuatkan Tjokorda Made Adnya di Puri Kaleran yang mengatakan pada awalnya hanya dua raja yang membuat padharman di Besakih yakni Raja Klungkung dan Raja Mengwi. Amat sangat disayangkan suatu ide dan prakarsa yang bagus kurang mendapat dukungan pada hal tujuannya adalah untuk mempersatukan raja-raja di Bali dan menggalang kekuatan untuk melawan kolonialisme Belanda yang ketika itu sedang merambah Bali.
3.Tanggal 14 Agustus 1975 penulis juga mendapat penjelasan dari Drs. Martinus Maria Sukarto Atmojo yang ketika itu sebagai Kepala Suaka Purbakala Bali berkedudukan di Bedulu yang juga membenarkan pernyataan tersebut dan memberikan contoh diantaranya Prabu Ugrasena Raja Bali pada abad X di dhinarma di Er Madatu, Prabu Udayana padharman beliau ada di Banyu Weka, Prabu Anak Wungsu di dhinarma di Gunung Kawi.”

Minggu, 04 September 2011

PURA DALEM TUGU, PURA MRAJAN KAWITAN DAN PURA WARINGIN

Uraian dalam postingan ini dengan judul seperti tercantum diatas bersumber dari uraian dalam Lampiran V Buku Babad Sira Arya Kuthawaringin-Kubontubuh Edisi II-2007 yang berjudul : Pura-Pura Pusat Penyungsungan Pratisentana Sira Arya Kubontubuh-Kuthawaringin. Disamping itu perlu pula dipermaklumkan bahwa uraian tentang keberadaan pura-pura seperti dimaksud pada judul postingan ini sudah pula disinggung dalam uraian beberapa postingan terdahulu yaitu :
  • Postingan tertanggal 17 Oktober 2010 yang berjudul : Peristiwa Sejarah dan Peranserta Sira Arya Kuthawaringin Beserta Keturunnannya.
  • Postingan tertanggal 17 Oktober 2010 dengan judul : Peristiwa Sejarah dan Pura Yang Berdiri.
  • Rangkaian Postingan-Postingan tentang Raja Purana Pura Dalem Tugu yang telah dipublis mulai dari postingan tertanggal 31 Oktober 2010 sampai dengan postingan tertanggal 29 Januari 2011.
Berbeda dengan uraian dalam postingan-postingan terdahulu seperti termaksud diatas, uraian yang disajikan dibawah ini terutama dimaksudkan untuk menunjukkan keterkaitan diantara ketiga pura yang dimaksud pada judul postingan ini.
Dilihat dari tokoh pendiri masing-masing pura dari ketiga pura tersebut yaitu Pura Dalem Tugu di Gelgel, Klungkung yang didirikan oleh Sira Arya Kuthawaringin; Pura Mrajan Kawitan Pratisentana Sira Arya Kubontubuh di Gelgel, Klungkung yang didirikan oleh Kyayi Gusti Agung Bandhesa Gelgel dan Pura Waringin di Desa Waringin, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem yang didirikan oleh Kyayi Wayahan Kuthawaringin yaitu putera sulung Kyayi Gusti Parembu, adalah pura-pura yang secara geneologis terkait satu dengan lainnya, dengan Pura Dalem Tugu sebagai pusatnya.
Pemahaman tentang sejarah pendirian, status, fungsi dan sebutan dari ketiga pura termaksud bagi para sameton pratisentana Sira Arya Kuthawaringin diperlukan untuk lebih memantapkan hati dalam menentukan urutan prioritas pura yang akan dituju untuk melaksanakan kewajiban berbhakti kepada leluhur dalam kerangka konsep Tri Rna sesuai dengan inti tattwa Agama Hindu yang terhimpun dalam Panca Srada.
Oleh karena itu uraian selanjutnya akan berkisah tentang sejarah berdiri beserta pendirinya, status, fungsi dan sebutan masing-masing dari ketiga pura termaksud.
1. Pura Dalem Tugu
a.Sejarah berdirinya Pura Dalem Tugu.
Kata Dalem dari nama Pura Dalem Tugu berasal dari kata Dalem dari Kahyangan Dalem Desa yang juga disebut Dalem Jagat dan kemudian lumrah dikenal sebagai Dalem Suci. Kahyangan termaksud merupakan sthana Sang Hyang Amurwabhumi dan sudah ada sebelum munculnya Kahyangan Tiga. Sedangkan Dalem Pangulun Setra atau Dalem Cungkub yang merupakan salah satu unsur (pura) dari Kahyangan Tiga, merupakan sthana Dewa Siwa dalam manifestasinya sebagai Durga Bhairawi. Dengan demikian Dalem Desa , Dalem Jagat atau Dalem Suci yang merupakan cikal-bakalnya pura yang kemudian dikenal dengan nama Pura Dalem Tugu, bukanlah Dalem Pangulun Setra.
Sedangkan kata Tugu dari nama Pura Dalem Tugu tersebut berasal dari Palinggih Sang Hyang Tugu (Sang Hyang Ghanapati) yang didirikan dibagian utara dalam palemahan Pura Dalem Suci termaksud, dimana I Gusti Agung Bandhesa Gelgel bersama para arya lainnya berikrar (madewasaksi) untuk membulatkan sikap dikalangan para pejabat kerajaan sebelum menjemput Ida I Dewa Ketut Ngulesir ke Desa Pandak untuk mohon kesediaan beliau dinobatkan menjadi Dalem pengganti Dalem Ile.
Proses sejarah dari Kahyangan Dalem Desa, Dalem Jagat atau Dalem Suci menjadi Pura Dalem Tugu seperti dimaksud diatas, berjalan seiring dengan perjalanan hidup beserta kiprah peranan Sira Arya Kuthawaringin beserta putera-putera beliau dalam perjalanan sejarah pemerintahan Dalem Samprangan dan Dalem Gelgel, seperti ilustrasi singkat dibawah ini.

Senin, 25 April 2011

KETURUNAN KYAYI MIBER

Menanggapi komentar dalam Recent Comments tentang keturunan Kyayi Miber disampaikan hal-hal berikut :
  • Dalam Babad Sira Arya Kuthawaringin-Kubontubuh yang dijadikan rujukan dalam penulisan postingan yang disajikan dalam Blog yang saya kelola ini memang tidak ada uraian yang mengungkap keturunan Kyayi Miber putera  Kyayi Lurah Tubuh alias Ki Nyapnyap.
  • Jika dalam kenyataannya, kini ada keturunan Kyayi Miber, memang menimbulkan pertanyaan. Mengapa dalam Babad termaksud tidak ada uraian tentang itu ?
  • Jawaban dari pertanyaan tersebut, menurut hemat saya,dapat didekati dengan menganalisis data yang terungkap dari rangkaian peristiwa-peristiwa sejarah yang terrekam dalam Babad termaksud antara lain sebagai berikut :
1.       Tahun 1686: Ki Nyapnyap beserta puteranya (yaitu Kyayi Miber) yang masih kanak-kanak ngiring Dalem Dimade menyingkir ke Guliang, Bangli.
2.       Tahun 1704: Kriyan Agung Maruti berhasil dikalahkan, lari dari Gelgel ke Jimbaran kemudian ke Kuramas. Sri Agung Gede Jambe menitahkan Kyayi Lurah Tubuh alias Ki Nyapnyap dengan pasukan mengejar ke Jimbaran lalu ke Kuramas dan akhirnya menetap di Kuramas.
3.       Data/peristiwa terakhir yang diungkap dalam Babad termaksud adalah peristiwa tahun 1704 tersebut diatas yang merupakan akhir dari Zaman Kerajaan Gelgel dan atau awal dari Zaman Kerajaan Klungkung karena pada tahun itu juga beliau Sri Agung Gede Jambe bertakhta menjadi raja berkedudukan di Smarajaya (Klungkung).
4.       Rentang waktu antara tahun 1686 dengan 1704 seperti dimaksud pada butir 1 dan 2 diatas adalah 1704 – 1686 = 18 tahun. Kalau umur Kyayi Miber pada tahun 1686 yang dikatakan masih kanak-kanak kita asumsikan X tahun, maka umur Kyayi Miber pada tahun 1704 menjadi (18 + X) tahun.
5.       Pada umur seperti dimaksud pada butir 4 diatas, pada tahun 1704 Kyayi Miber mungkin belum kawin (mengingat pada zaman dahulu konon orang kawin pada usia yang relatif lebih lanjut dibandingkan dengan orang zaman sekarang) atau sudah kawin tetapi belum memiliki keturunan. Jika keturunannya baru ada sesudah tahun 1704 jelas tidak juga akan terrekam dalam Babad termaksud karena seperti diuraikan dalam butir 3 diatas, data/peristiwa terakhir yang diungkap dalam Babad termaksud adalah data/peristiwa tahun 1704.
  • Jika demikian halnya, menurut hemat saya, untuk mengetahui keturunan Kyayi Miber dapat ditempuh beberapa cara antara lain :
1.       Telusuri Babad, Pamancangah atau dokumen-dokumen silsilah/keturunan lainnya yang mencakup data/peristiwa sesudah tahun 1704.
2.       Hubungi keluarga terdekat seperti tercantum dalam Bagan Silsilah (No.1.1.1.1.1 Bagan Silsilah Keturunan Kyayi Lurah Abian Tubuh) yang disajikan dalam Blog ini, kalau-kalau ada generasi yang rajin mencatat nama-nama generasi-generasi yang telah mendahului.
  • Demikianlah hal-hal yang bisa saya sampaikan, semoga ada manfaatnya.
Denpasar, 25 April 2011
Pengasuh Blog,

(I Made Pageh Suardhana)

Sabtu, 29 Januari 2011

Peta Denah Palinggih dan Bangunan di Pura Dalem Tugu, Gelgel, Klungkung (Sesuai Raja Purana).

clip_image002

Keterangan Peta :

I. J e r o a n

1.Padma Agung (Sanggar Agung Kembar)

2.Tugu (Linggih Sang Hyang Tugu)

3.Meru Tumpang Tiga (Padharman sang wus humoring Hyang

   Sirarya Kuthawaringin)

4.Gedong Bata (Pajenengan Kawitan)

5.Bale Pengaruman (Pesamuhan)

6.Saptapatala

7.Ngrurah Agung

8.Piyasan

9.Limascari

10.Limascatu

11.Manjangan Saluwang (Maspahit)

12.Panyimpenan (tegeh)

13.Tigaron

14.Panggungan

15.Bale Pamujaan

II. Jaba Tengah

1.Bale Kulkul

2.Taman/Beji

3.Apit Lawang

4.Bale Lantang

5.Bale Sakanem (serbaguna)

III. Jaba Sisi

1.Wantilan

2.Pangijeng Karang

3.Lebuh

(Sumber : Babad Sira Arya Kuthawaringin-Kubontubuh, Edisi II-2007, halaman 122-123).

IV.8 TERJEMAHAN DALAM BAHASA INDONESIA DARI TEKS RAJA PURANA PURA DALEM TUGU

GAGADHUHAN PURA DALEM TUGU
Ong Awignamastu
Ini sebuah gagadhuhan (catatan) tentang jajar bangunan/palinggih yang ada di Pura Dalem Tugu, yang telah disucikan dengan upacara yaitu anyapuh angenteg linggih, yang diwarisi sejak jaman dulu, tidak boleh ditambah dan atau dikurangi, sebab telah dipuja oleh para pendeta Siwa Budha dan Bhujangga, sebab kalau ditambah dan atau dikurangi jumlahnya, sangat berbahaya, akan berakibat tidak selamat, selalu bertengkar dengan keluarga, banyak pekerjaan tanpa hasil. Demikian juga upacara aci-acinya jangan sengaja mengurangi, jangan sampai tidak ada aci-aci yang seharusnya diselenggarakan, dalam ukuran nista, madya, utama, mengikuti kebiasaan terdahulu sesuai dengan sastra agama.

Rabu, 19 Januari 2011

IV.7 TERJEMAHAN DALAM BAHASA INDONESIA DARI TEKS RAJA PURANA PURA DALEM TUGU

Setelah lama waktu berlalu, tidak diketahui waktunya yang pasti, beliau Kyayi Agung Bandhesa Gelgel Kubontubuh yang dikenal juga bernama Kyayi Klapodhyana, diuji kesetiaannya, keperwiraannya serta ketangkasannya, oleh Sri Smara Kepakisan, untuk melawan (membunuh) macan hitam di daerah Blangbangan atas permintaan raja di sana, karena macan itu tiada hentinya membuat keonaran negeri itu. Setelah mendengar perintah raja, bangkitlah keberaniannya, karena beliau memang mumpuni dan beliau selalu setia dan bijaksana. Dengan sopan dan santun beliau menyatakan tidak menolak perintah Dalem sungguh-sungguh niat beliau untuk mengabdi pada tuannya. Keesokan harinya dengan segera beliau berangkat menaiki perahu, diikuti oleh prajurit yang telah dipilih, beliau juga tidak lupa bersembahyang di Pura Dalem Tugu mohon anugrah kehadapan leluhur yang di“dharmma”kan (disthanakan) di sana. Beliau diberi senjata oleh Dalem, berupa tulup (sumpitan) yang tombaknya berbentuk biring agung, kemudian bernama Macan Guguh. Tidak diceritakan dalam perjalanan disebutkan beliau telah sampai di sebuah hutan tempat harimau itu. Dijumpainyalah harimau hitam itu mengendap-endap dibawah pohon yang besar. Dengan segera bersiap Kyayi Klapodhyana untuk memerangi harimau hitam besar itu, tidak gentar Kyayi Bandesa, akhirnya harimau itu lari. Saat itu Kyayi Klapodhyana memusatkan pikiran (hangregep), dihembuskan punglu batur bhumi (peluru sumpitan) disertai penunggalan pikiran mengucapkan mantra untuk membunuh musuh. Beliau membidik dengan sumpitan pemberian Dalem sekali kena tembus lambung harimau itu dan akhirnya mati tanpa perlawanan. Setelah harimau itu mati, Kyayi Klapodhyana dengan bala prajuritnya kembali ke Bali langsung menghadap Dalem di Gelgel, dengan mempersembahkan kulit macan itu sebagai tanda bukti keberhasilannya.

Kamis, 06 Januari 2011

IV.6 TERJEMAHAN DALAM BAHASA INDONESIA DARI TEKS RAJA PURANA PURA DALEM TUGU

Adapun Kyayi Gusti Agung Bandesa Gelgel, berpindah tempat tinggal membangun istana kepatihan yang baru di sebelah baratdaya istana beliau terdahulu, di sebidang tegalan (Abyan Kawan) yang ditanami pohon kelapa di sebelah utara Pura Dalem Jagat kahyangan tempat pemujaan beliau. Dalam waktu singkat selesai pembangunan istananya yang dibangun menurut tata aturan istana yang disebut Istana Kepatihan, beserta Pamrajan, tidak ada kekurangannya lengkap dengan tata upacara menurut widhi widhana untuk upacara sebuah kahyangan. Mulai saat itu Kyayi Gusti Agung Bandesa Gelgel diberi nama Kubontubuh atau Klapodhyana sehingga di masyarakat lebih dikenal dengan nama I Gusti Kubontubuh atau Kyayi Gusti Klapodhyana semenjak beliau pindah istana yang berlokasi di abian kawuhan (Abian Kawan). Kemudian atas restu Dalem Smara Kepakisan, dan didukung para arya semua dibangunlah “Tugu” sebagai sthana Sang Hyang Tugu, beliaulah Sang Hyang Ghanapati, sebagai saksi dunia ini, karena berhasil mendapat kesepakatan disertai “Dewasaksi” kesetiaan akan janji membela negeri bila ditimpa mara bahaya pada saat menjelang pengangkatan Ida I Dewa Ketut Ngulesir sebagai pelindung rakyat Bali yang bergelar Dalem Ketut Smara Kepakisan. Adapun Tugu itu dibangun di sebelah utara Gedong Bata, di Pura Dalem Jagat. Di Pura Dalem Jagat itu pula, tempat “Dhinarmma” roh suci almarhum Siraryya Kuthawaringin, yaitu di pura yang dibangun oleh almarhum dahulu. Oleh karena itu Dalem Ketut Smara Kepakisan menekankan (mengingatkan dengan sangat) supaya Kyayi Klapodhyana beserta saudaranya semua agar me- ngupapira Pura Dalem Jagat tersebut dengan segala upacaranya. Semenjak dibangunnya palinggih Tugu itulah yang menyebabkan Kahyangan Dalem Jagat itu disebut Pura Dalem Tugu untuk selanjutnya. Kemudian akhirnya dibangun pula sebuah meru tumpang tiga oleh Kyayi Klapodhyana, di sebelah utara Gedong Bata, di sebelah selatan Tugu, sebagai “Padharmman” Siraryya Kuthawaringin.